Saya kecewa sekali dengan hasil wawancara Uchok Sky Khadafi yang dimuat di koranSindo (minggu, 28/4.2013), yang berjudul "Tak laku di pasaran, artis jadi caleg".
Di wawancara itu pak Uchok sempat mengatakan:
"Karena artis yang daftar jadi caleg ini, bukan lagi yang laku dipasaran entertain. Tapi, artis jadi caleg ini tidak laku atau ditolak pasar. Pelawak yang tidak lucu lagi, dan tidak diterima pasar, pasti masuk jadi caleg," kata Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi kepada Sindonews, Minggu (28/4/2013).
Maka itu, dia mengatakan, bagi artis yang saat ini pada terjun ke dunia politik tidak lain hanya mencari pekerjaan. "Buat artis atau pelawak, jadi caleg itu hanya mencari pekerjaan saja. Kalau artis atau pelawak yang menjaga profesionalnya yang tetap laku dipasar entertain, pasti tidak mau jadi caleg," tandasnya.
http://nasional.sindonews.com/read/2013/04/28/12/742855/tak-laku-di-pasaran-artis-jadi-caleg
Setelah membaca berita ini, saya
ingin mengajak bapak untuk berfikir yang lebih luas, terutama dari kata-kata
bapak mengenai “artis yang tidak laku masuk ke dunia politik”.
Pernahkah bapak berfikir dari
sisi lain, bahwa kami para artis masuk ke dunia politik bukan karena tidak ada
pekerjaan lain dan tidak laku, tapi karena kami memang peduli dengan bangsa
kami. Sebagai anak bangsa yang benar-benar ingin memajukan perekonomian,
pendidikan serta martabat bangsa kami di mata dunia. Bukankah kami anak bangsa
punya hak yang sama.
Pernahkah bapak mencoba berfikir
secara optimis kalau kami sudah muak dengan ketidak adilan yang terjadi terutama
terhadap rakyat miskin.
Karena kalau kita lihat sejarah
kepedulian artis terhadap masyarakat miskin, bencana yang terjadi atau apapun
bentuknya yang menggugah hati kami, artis atau seniman kami biasa menyebutnya
lebih dulu turun dibandingkan dengan para politisi yang biasanya (tidak semua
politisi memang) yang hanya turun dan membantu jika dalam waktu dekat-dekat
pemilu saja. Yang kami lakukan bukan untuk pencitraan dan berharap agar dipilih
oleh rakyat, melainkan karena kami memang benar-benar tersentuh dan merasa
terpanggil dengan keadaan yang saat itu terjadi, dan kami tidak mendapatkan
imbalan apapun untuk itu.
Satu hal lagi tentang “artis yang
tidak laku masuk ke dunia politik” seperti yang bapak katakan di artikel itu,
yah.. bapak mungkin bisa saja mengatakan kami tidak laku. Terserah, itu hak
bapak. Tapi yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Alhamdulillah kalau saya masih
mendapatkan banyak tawaran ketika saya memutuskan untuk fokus di dunia
pendidikan demi mendapatkan gelar S2, dan saya anggap itu adalah harga yang
pantas, karena saya menganggap pendidikan adalah hal yang utama. Dan apakah
salah karena membuang kesempatan saya dalam berkarir di dunia entertaint?
Karena menurut saya dengan punya pendidikan yang baik, saya akan lebih terdidik
meskipun saya bekerja entah di dunia entertaint atau bidang apapun tempat saya bekerja.
Kembali lagi saya ingin
mengingatkan bapak, kalau tidak semua artis terjebak dalam keglamorannya atau
cuma bisa senang-senang seperti yang dipikirkan banyak orang, melainkan kami
sudah terbiasa masuk pasar, berbecek becek di lumpur saat kami harus melakukan adegan dan itu kami lakukan setiap
hari untuk melatih kepekaan kami. Karena untuk menjadi seorang pemain
film/sinetron kami terbiasa melakukan observasi dan ikut merasakan bagaimana
rasanya menjadi orang yang tidak mampu dan tidak berdaya agar bisa masuk kedalam
peran. Karena itu kami menjadi lebih peka dengan keadaan sekitar kami. Bukan
seperti politisi yang hanya sok dekat dengan rakyat dan masuk ke pasar 5 menit
hanya untuk mencari dukungan dan tujuan pencitraan.
Ini bukan bermaksud sombong tapi saya hanya sekedar ingin mengingatkan bapak, kalau bekerja di bidang seni hanyalah pekerjaan kami, dan kami selalu menyayangi masyarakat yang ada sekitar kami. Kami terpanggil untuk membantu masyarakat jauh sebelum menjadi caleg atau hanya untuk pencitraan.